"Pesta Pembantaian 2019", Siapa yang Bertanggungjawab?
- Aditya Permana
- May 12, 2019
- 4 min read

Jika Pemilihan Umum dianggap sebagai "Pesta Demokrasi", maka PEMILU 2019 secara serentak patut disebut sebagai "Pesta Pembantaian". Dalam sebuah pesta, seharusnya semua pihak menikmati acara tersebut. Namun siapa yang menikmati "Pesta Demokrasi 2019"? Hanya sebagian yang menikmati walaupun sebagian lagi tidak puas dengan pesta tersebut. Berbeda dengan "Pelayan" yang bertugas di "Pesta Demokrasi" tersebut, tidak ada kepuasan atau kesenangan, yang ada hanyalah penderitaan dan beban untuk melayani pihak-pihak yang sedang berpesta.
Tercatat hingga tanggal 11 Mei 2019, "Pelayan Pesta Demokrasi" (Petugas KPPS) sebanyak 469 orang meninggal dunia dan 4.602 orang lagi dalam kondisi sakit (Detik. 2019). Jumlah sebanyak itu mengalahkan korban Bom Bali 1 yang memakan 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka (Wikipedia), maka tidak salah jika "Pesta Demokrasi 2019" disebut sebagai "Pesta Pembantaian" atau bahkan "Tindakan Terorisme".
Menurut Kemenkes, "Pelayan Pesta Demokrasi" (Petugas KPPS) yang meninggal bukan karena faktor kelelahan saja, melainkan mereka sudah mengidap penyakit berat sebelum bertugas (CNN. 2019). Hampir sejalan dengan Medical Emergency Rescue Commitee (Mer-C) yang beranggapan bahwa faktor kelelahan bukan menjadi sebab seseorang mengalami kematian, melainkan kelelahan menyebabkan faktor lain muncul seperti jantung, sakit pernafasan, dsb (Merdeka. 2019).
Muncul pertanyaan, bagaimana sistematika KPU sebagai "Penyelenggaran Pesta Demokrasi" dalam merekrut petugas lapangan dan merencanakan pekerjaan petugas lapangan? Atau lebih daripada itu, Apakah KPU memikirkan kondisi lapangan yang akan dihadapi petugas lapangan?
Jika KPU secara terencana dan sistematis telah memperhitungkan dengan tepat dan hati-hati pekerjaan dan kemungkinan hal-hal yang terjadi di lapangan, yang mana dalam hal ini pekerjaan di lapangan membutuhkan fisik dan mental yang kuat. Maka seharusnya KPU melakukan rekrutmen anggota KPPS dengan syarat-syarat agar anggota KPPS mampu bertugas dan menghadapi situasi lapangan. Tetapi kenyataanya banyak anggota KPPS yang meninggal dan sakit, maka saya memberikan berbagai asumsi mengapa kejadian ini bisa terjadi, diantaranya :
1. Petugas KPPS memang meninggal dan sakit karena kelelahan yang disebabkan beban kerja yang berat.
2. Petugas KPPS diracun oleh pihak-pihak jahat yang berkepentingan.
3. KPU tidak memikirkan dengan matang penyelenggaraan PEMILU 2019, dalam hal ini ialah Human Error
Asumsi pertama menggambarkan realitas di lapangan, bahwa mereka (Petugas KPPS) meninggal disebabkan beban kerja yang berat. Namun asumsi ini walaupun benar, dia tidak secara rinci memberikan jawaban mengapa itu terjadi hingga ke akarnya, dalam hal ini, memberikan informasi tentang pihak yang bertanggungjawab. Asumsi ini cenderung mengarahkan penyebab realitas di lapangan sebagai sebuah hal yang wajar dan petugas KPPS sendiri sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Asumsi kedua menggambarkan persepsi tentang penyebab realitas di lapangan. Jumlah korban sebanyak itu secara logis memang dapat menyebabkan asumsi liar tentang konspirasi pembunuhan berencana secara sistematis terhadap petugas KPPS, namun asumsi ini bisa benar hanya jika KPU sebagai penyelenggara PEMILU 2019 terbukti merencanakan secara hati-hati, sistematis, dan logis tentang realitas penyelenggaran di lapangan. Selain daripada itu juga perlu penelitian medis agar membuktikan kebenaran asumsi kedua ini (bahwa anggota KPPS diracun).
Asumsi ketiga menggambarkan persepsi akan penyebab realitas di lapangan. Berbeda dengan asumsi kedua yang menganggap pihak yang jahat, asumsi ketiga menekankan KPU sebagai penyelenggara yang bertanggungjawab akan realitas di lapangan. Dalam hal ini, terdapat faktor kelalaian manusia (Human Error) yang menyebabkan anggota KPPS menjadi korban. Asumsi ketiga ini bisa benar hanya jika kita mengetahui pekerjaan rinci petugas KPPS di lapangan dan kebenaran bahwa KPU memikirkan secara matang kondisi lapangan, metode rekrutmen petugas KPPS dan beban kerja petugas KPPS atau tidak.
Berbeda dengan asumsi pertama dan asumsi kedua, asumsi ketiga lebih logis dan cenderung tidak memihak salah satu kubu. Hal ini disebabkan asumsi ketiga tidak mengandung asumsi liar dan menganggap faktor ketidaksengajaan atau kelalaian sebagai penyebab kematian "Pelayan Pesta Demokrasi" di PEMILU 2019, yang mana pihak yang bertanggungjawab secara penuh adalah KPU sebagai penyelenggara "Pesta Demokrasi 2019".
Walaupun begitu, asumsi ketiga ini perlu dibuktikan juga. Dalam hal ini, kita perlu mengetahui realitas pekerjaan petugas KPPS di lapangan dan disandingkan dengan perencanaan yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara PEMILU 2019. Perencanaan tersebut meliputi dugaan hal-hal yang terjadi di lapangan, durasi kinerja petugas KPPS di lapangan, metode rekrutmen petugas KPPS meliputi syarat-syarat berupa usia, kesehatan, dsb.
Jika asumsi ketiga tersebut terbukti benar, dalam hal ini bahwa KPU sebagai pihak penyelenggara tidak secara matang memikirkan dan merencanakan PEMILU 2019. Tidak memikirkan realitas yang harus dihadapi oleh petugas KPPS, tidak memikirkan syarat-syarat rekrutmen petugas KPPS agar mampu menghadapi realitas di lapangan. Maka, kesalahan dan tanggungjawab akan tragedi "Pesta Pembantaian 2019" dipegang oleh KPU sebagai penyelenggara. Petugas KPPS dianggap KPU sebagai Buruh yang lebih rendah dari Buruh, mereka adalah Budak. Jika Buruh masih diperhatikan fisik dan mental mereka untuk menunjang pekerjaan, berbeda dengan Budak yang hanya digunakan demi mencapai tujuan tanpa memperdulikan nyawa atau kesehatan..
"Pelayan Pesta Demokrasi" (Petugas KPPS) dalam hal ini bukanlah "Pahlawan" melainkan "Korban". Sebutan "Pahlawan" tidak tepat disematkan kepada mereka, karena jika "Penyelenggara Pesta" secara cermat merencanakan "Pesta Demokrasi" maka "Pelayan Pesta Demokrasi" (Petugas KPPS) akan tetap hidup dan "Pesta Demokrasi" tidak akan berubah menjadi "Pesta Pembantaian"
Petugas KPPS diandaikan sebagai seorang "Tentara" yang diberikan misi bunuh diri demi mencapai tujuan. Padahal, ada banyak cara mencapai tujuan tanpa perlu melakukan misi bunuh diri. Mereka dianggap "Pahlawan", padahal nyatanya mereka adalah "Korban" dari kebodohan "Atasan" yang memberikan tugas kematian
Comments