top of page

Allegory of the Cave by Plato, Ketika Realitas Dipertanyakan

  • Writer: Aditya Permana
    Aditya Permana
  • Feb 5, 2019
  • 7 min read

Updated: May 12, 2019


Allegory of the Cave by Plato
Bayangkan, sekelompok tahanan yang sejak dari lahir telah berada di dalam gua. Sejak dari lahir seluruh tangan dan kaki mereka hingga mereka dirantai hingga tidak dapat beranjak pergi dari tempat mereka, selalu bersandar di dinding
Sejak dari lahir pula tubuh dan pandangan mereka menghadap dinding gua, mereka tidak mampu melihat diri mereka sendiri dan manusia di samping mereka. Di balik dinding tempat mereka bersandar, terdapat api unggun yang berada di atas batu. Dibalik dinding itu pula ada orang-orang membawa benda yang menampilkan bayangan dari benda mati ataupun makhluk hidup
Para tahanan tersebut (yang bersandar di dinding) hanya melihat bayangan dari benda yang orang-orang di balik dinding itu bawa, mereka tidak pernah mengetahui apa yang ada di belakang dinding tempat mereka bersandar, mereka tidak pernah melihat secara langsung bahkan bayangan orang-orang dibalik dinding tersebut. Orang-orang di balik dinding tersebut menampilkan bayangan dari benda mati ataupun hewan, mereka berbicara dan suaranya menggema akibat berada di dalam gua.
Para tahanan tersebut lalu menganggap bahwa bayangan tersebut adalah suatu objek yang nyata dan suara yang menggema itu adalah suara dari bayangan yang mereka lihat dan mereka anggap nyata

Allegory of the Cave (Perumpamaan Orang-Orang di Dalam Gua) adalah sebuah perumpamaan yang dicetuskan oleh Plato, filsuf Yunani kuno. Plato mencetuskan perumpamaan tersebut dengan tujuan untuk menjelaskan bagaimana kondisi filsuf dalam memahami realitas. Tetapi sekarang saya tidak membahas tentang Allegory of the Cave menurut sudut pandang dan penjelasan Plato, tetapi lebih kepada sudut pandang saya pribadi, walaupun mungkin ada pengaruh dan kesamaan dari penjelasan atau pemikiran Plato.


Dan karena ini adalah sudut pandang pribadi tentang sebuah analogi yang dicetuskan oleh orang yang terkenal, maka sudah pasti bahwa akan ada perbedaan pendapat baik itu persetujuan maupun ketidaksetujuan atas penafsiran saya. Dan itu adalah wajar sehingga perlu dipahami dan diingat bahwa tulisan ini bukanlah tulisan secara teoritis yang harus dan langsung bisa dipercayai kebenarannya, tetapi menjadi sebuah masukan kepada kita dalam memahami realitas, karena tujuan dasar dari penulisan ini pun bukan untuk menjelaskan suatu hal yang teoritis tetapi lebih kepada penjelasan suatu hal dari sudut pandang pribadi.



Pertama, Allegory of the Cave saya pikir adalah sebuah perumpamaan untuk menjelaskan hubungan manusia dengan realitas. Bagaimana manusia selama ini menganggap bahwa apa yang mereka anggap nyata/real mungkin saja bukan kenyataan, tetapi hanyalah bayangan dari kenyataan, atau istilah yang saya suka adalah Fragment of Truth / Pecahan Realitas / Pecahan Kebenaran.

Kita sebagai manusia bagaikan tahanan di dalam gua. Kita selama ini hidup di dalam gua dan hanya melihat bayangan dari benda yang berbentuk benda mati ataupun makhluk hidup. Bayangan yang kita lihat di dinding gua dan suara menggema yang kita dengar, kita terima secara langsung sebagai sebuah realitas. Padahal apa yang kita dapatkan itu (Bayangan di dinding & Suara yang menggema) hanyalah pecahan realitas, sebagian kecil dari realitas, hanyalah representasi realitas atau tiruan dari realitas.


Contoh secara nyata misalkan tentang bagaimana kita menilai seseorang. Saya ambil contoh dari video YouTube yang diunggah oleh User bernama Coby Persin berikut :



Video tersebut secara garis besar berisikan konten Social Experiment di Time Square, Amerika Serikat. Di mana ada orang dengan penampilan yang lusuh, kotor dan tidak menarik, kita namakan dia sebagai Coby. Orang-orang yang lewat menilai penampilan Coby tersebut sebagai penampilan seorang gelandangan yang tidak memiliki kekayaan materi. Dan Coby yang berpenampilan gelandangan tersebut mencoba meminta tolong kepada orang-orang yang lewat untuk meminjamkan Handphone dalam rangka menelepon seseorang.


Beberapa kali Coby tersebut meminta tolong kepada orang-orang yang lewat agar meminjamkan Handphone mereka, tetapi banyak yang tidak mengindahkan permintaan tolong tersebut. Tetapi ada beberapa orang yang memberikan pertolongan dan pada akhirnya orang-orang tersebut terkejut karena Coby yang mereka anggap sebagai gelandangan, dijemput dengan mobil mahal yang belum tentu orang-orang tersebut miliki.


Lalu apa hubungannya Social Experiment tadi dengan

Allegory of the Cave?


Orang-orang yang lewat di video tadi, diumpamakan sebagai tahanan di gua. Coby yang berpakaian lusuh dan kotor merupakan sebuah bayangan di dinding gua, bayangan dari Coby yang sebenarnya, dan karenanya mereka menganggap Coby adalah gelandangan, dan mereka anggap itu adalah sebuah realitas sejati. Karena mereka anggap itu sebagai realitas, maka mereka tidak memberikan pertolongan, sebab mereka mungkin berpikir bahwa itu adalah modus operandi kejahatan, ataupun sebagainya sehingga membuat mereka enggan untuk memberikan pertolongan.


Padahal anggapan bahwa Coby adalah gelandangan adalah sebuah bayangan yang mereka lihat di dinding gua, sebuah representasi dari benda, sebuah pecahan realitas atau representasi realitas. Saat mereka mengetahui bahwa Coby yang mereka anggap gelandangan ternyata adalah orang kaya, mereka terkejut, realitas yang mereka yakini hancur dan mereka sadar bahwa apa yang mereka lihat selama ini adalah realitas palsu, hanyalah pecahan realitas.


Bayangan dianggap sebagai sebuah realitas sebab bayangan adalah suatu hal yang ada, suatu hal yang nyata dan bisa dilihat. Saat kita melihat bayangan benda di dinding gua, maka kita anggap bahwa bayangan dari benda tersebut adalah benda yang sesungguhnya, realitas yang sesungguhnya karena nyata dan bisa dilihat. Realitas adalah suatu hal yang kita lihat dan kita yakini bahwa itu adalah realitas.

Saat melihat Coby yang berpenampilan lusuh, kotor, dan kusam, orang-orang yang lewat meyakini bahwa itulah realitas, bahwa itulah penampilan Coby yang sebenarnya sebab bisa mereka lihat dan itu adalah nyata. Dan dari penampilan tersebutlah orang-orang yang lewat tadi memberikan penilaian kepada Coby, memberikan kategori dan label terhadap Coby berdasarkan penampilannya. Karena penampilan Coby yang lusuh, baju yang kotor dan kulit yang kusam dikaitkan atau identik dengan gelandangan, maka orang-orang yang lewat menganggap bahwa Coby yang berpenampilan lusuh, baju yang kotor dan kulit yang kusam tadi adalah seorang gelandangan. Dalam tahap ini, maka realitas telah tercipta, sebuah realitas tiruan, representasi realitas.


Kemudian setelah realitas tiruan/representasi realitas telah ditangkap dan dipahami oleh orang-orang yang lewat tadi, maka orang-orang tersebut akan melakukan tindakan sesuai dengan realitas tersebut. Misalkan dalam hal ini, saat orang-orang yang lewat tadi melihat Coby yang berpenampilan seperti gelandangan dan meminta pertolongan kepada mereka, kemudian orang-orang tersebut mempercayai hal tersebut sebagai sebuah realitas di mana Coby yang berpenampilan seperti gelandangan dan meminta pertolongan adalah seorang gelandangan, maka tindakan mereka terhadap Coby akan dipengaruhi oleh realitas tentang Coby, realitas bahwa Coby adalah seorang gelandangan. Padahal, sekali lagi bahwa itu hanyalah representasi realitas.


Tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang lewat terhadap Coby yang meminta pertolongan kebanyakan mengacuhkan permintaan tolonng dari Coby, karena mungkin itulah tindakan atau sikap yang orang-orang tunjukkan terhadap gelandangan.


Realitas yang tercipta atas Coby di dalam pandangan sebagian besar orang-orang yang lewat adalah realitas bahwa Coby adalah seorang gelandangan. Mereka yang tidak memberikan pertolongan terhadap Coby adalah mereka yang mungkin juga sering mengacuhkan para gelandangan, walaupun gelandangan tersebut meminta pertolongan. Begitu juga dengan yang memberikan pertolongan, mungkin saja mereka adalah orang yang akan memberikan pertolongan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan, walaupun itu adalah gelandangan sekalipun.



Apa yang menjadi inti dari tulisan ini atau inti dari penjelasan sebelumnya, dan apa yang ingin saya sampaikan bahwa :


Realitas yang selama ini kita yakini itu bisa saja adalah sebuah kepalsuan, hanya sebuah representasi dari realitas yang sejati, sebuah kepingan dari kebenaran sejati. Jika selama ini apa yang kita anggap realitas adalah sebuah representasi realitas/tiruan realitas dari realitas sejati, maka selama ini kita hidup dalam kebohongan dan kepalsuan. Dan dampaknya sangat fatal, apa yang kita anggap sebagai sebuah hal yang benar bisa saja menjadi salah dan begitu juga sebaliknya, sesuatu yang kita anggap sudah kita pahami bisa saja baru saja kita pahami sedikit dari keseluruhan atau bahkan kita tidak pahami sedikitpun.

Dan saya bukan bermaksud membuat kalian berpikir mengenai asumsi saya bahwa "kemungkinan kita hidup dalam kebohongan" sehingga berakhir dengan kalian berpikir dalam ranah filosofis dan mempertanyakan hakikat manusia di dunia atau bahkan hingga kepada agama. Walaupun memang asumsi saya pada akhirnya akan memunculkan kembali pertanyaan mendasar tentang kehidupan manusia, tentang tujuan hidup manusia di dunia dan apa realitas sejati serta apa yang tersembunyi di balik representasi realitas kehidupan.


Tetapi bukan itu tujuan saya menulis ini, tetapi apa yang ingin coba saya sampaikan adalah supaya kita menyadari bahwa selama ini kita dipengaruhi dan selalu memandang representasi realitas, dan bukan dalam rangka agar kita mencari tahu realitas sejati dari kehidupan dan mempertanyakan hakikat hidup manusia.


Dengan kita menyadari bahwa kita selama hidup selalu memandang representasi realitas dan kehidupan kita dipengaruhi oleh representasi realitas, maka setidaknya kita sadar bahwa kita hidup seperti tahanan di dalam gua. Tetapi kita menerima keadaan tersebut, keadaan bahwa kita hidup di dalam gua dan terbelenggu oleh rantai yang menghalangi kita pergi ke luar gua. Tetapi bukan berarti keadaan tersebut disebabkan kebodohan kita, tetapi lebih kepada ketidakmampuan kita untuk melepaskan diri dari rantai yang membelenggu tubuh. Sehingga saat rantai tersebut hancur dan kita mampu mengetahui realitas sejati, kita tidak terpuruk dan jatuh dalam jurang keputusasaan, sebab kita sejak awal menyadari bahwa kita hidup seperti tahanan di dalam gua.

Dan hasil yang saya harapkan sekali lagi bukan dalam ranah filosofis tentang hakikat kehidupan, tapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya praktis. Sebagai contoh, saya menginginkan kita sadar bahwa apa yang kita lihat di internet belum tentu merupakan realitas sejati sebab informasi yang kita dapatkan adalah sebuah representasi realitas, berita yang kita dapatkan di media cetak ataupun online belum tentu merupakan realitas sejati sebab berita tersebut hanyalah representasi realitas. Orang yang kita lihat belum tentu seperti kelihatannya, penampilannya hanyalah sebuah representasi realitas. Dan sejenisnya, apapun hal yang kita lihat dan informasi yang kita dapatkan, kita harus sadar bahwa itu hanyalah representasi realitas, dan bisa saja representasi realitas itu identik 100% dengan realitas sejati ataupun tidak identik sama sekali.


Realitas adalah apa yang nyata dan bisa dilihat, dan bayangan objek di dinding gua merupakan sebuah tiruan realitas atau representasi realitas sebab dia nyata walaupun hanya sebuah bayangan. Apa yang nyata dan bisa dilihat ataupun bisa dirasakan merupakan representasi realitas, dibaliknya tersembunyi Realitas Sejati. Representasi realitas bersifat netral, pikiran yang menghancurkan sifat netral dari representasi realitas.
Realitas mempengaruhi manusia untuk bertindak. Karena realitas yang tercipta adalah realitas palsu atau representasi realitas, maka tindakan yang muncul pada akhirnya tidak sesuai dengan Realitas Sejati walaupun secara logika tindakan tersebut sesuai dengan representasi realitas.
Manusia mendapatkan informasi, manusia mengolah informasi di dalam otak, dan manusia memberikan label atau penilaian terhadap informasi tersebut. Namun proses pengolahan informasi tersebut sarat akan bias kognitif, bahwa manusia hanya mau mempercayai apa yang mereka percayai. Sehingga wajar anda percaya ataupun tidak mau percaya terhadap suatu informasi. Maka benturkanlah apa yang manusia percayai dengan informasi yang berlawanan, dan benturkanlah apa yang manusia tidak percayai dengan informasi yang berlawanan. Sehingga didapatkan informasi dari dua sudut pandang, yang mampu menghancurkan bias kognitif, dan melepaskan manusia dari rantai keegoisan diri yang menghambat manusia menemukan kebenaran.

Comments


Quote

We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning

[Jean Baudrillard]

bottom of page